Hukum Ihram Dari Jeddah
HUKUM IHRAM DARI JEDDAH
Oleh
Lembaga Hukum Islam [Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiyah]
Lembaga Hukum Islam (Al-Majma’ Al-Fiqhi Al-Islamiyah) di Mekkah Al-Mukarramah mendiskusikan tema : “Hukum-Ihram di Jeddah”. Demikian itu adalah karena tidak tahunya banyak orang yang datang ke Mekkah untuk haji dan umrah lewat udara dan laut tentang arah tempat-tempat miqat yang telah ditentukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram dari tempat-tempat tersebut kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dan selain penduduk yang ingin haji dan umrah.
Setelah saling mempelajari dam memaparkan dalil-dalil syar’i tentang hal tersebut maka majelis menetapkan sebagai berikut.
Pertama. Sesungguhnya tempat-tempat miqat yang ditentukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mewajibkan ihram darinya kepada penduduknya dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduknya yang ingin haji dan umrah adalah Dzulhulaifah untuk penduduk Madinah dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Madinah, dan tempat itu sekarang dinamakan Abyar Ali (untuk jama’ah haji Indonesia lebih populer dengan nama Bi’r Ali -pent), lalu Juhfah bagi penduduk Syam (Yordania, Suriah, Palestina dan Libanon) dan Mesir, dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk beberapa negara tersebut, dan sekarang tempat itu dinamakan Rabigh, lalu di Qarnul Manazil bagi penduduk Najd dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Najd, dan tempat itu sekarang dinamakan Wadi Muhrim, dan juga dinamakan Al-Sayl, lalu di Dzatu ‘Irq bagi penduduk Irak dan Iran serta orang-orang yang melewati dua negara tersebut, dan tempat itu sekarang dinamakan Al-Dharibah, lalu di Yalamlam bagi penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman dan orang-orang yang melewatinya dari selain penduduk Yaman.
Mereka menerapkan wajibnya ihram kepada orang-orang yang niat haji dan umrah jika mereka berada pada lokasi yang searah tempat terdekat dari lima miqat tersebut, baik mereka yang lewat udara maupun lewat laut. Dan jika mereka mengalami kebingungan terhadap hal tersebut dan tidak mendapatkan orang yang mebimbing mereka pada tempat yang searah dengan lima miqat tersebut maka mereka harus bersikap hati-hati dengan ihram sebelum tempat-tempat miqat tersebut. Sebab ihram sebelum miqat diperbolehkan namun termasuk makruh tapi sah hukumnya. Dan dengan kehati-hatian serta pencermatan karena takut melewati miqat tanpa ihram maka hilanglah kemakruhan. Sebab tiada hukum makruh dalam melakasanakan kewajiban.
Dan semua ulama dalam empat madzhab menyebutkan apa yang telah kami sebutkan. Dan untuk itu mereka berpedoman dengan hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menentukan beberapa miqat kepada orang-orang yang haji dan umrah. Mereka juga berpedoman kepada riwayat shahih dari Amiril Mu’minin Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu ketika penduduk Iraq berkata kepadanya : “Sesungghnya Qarnul Manazil sangat merepotkan jalan kami”. Maka beliau berkata kepada mereka : “Perhatikanlah arahnya dari jalanmu”.
Sebagaimana ulama empat mazhab juga mengatakan : “Sebab sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-hamba-Nya untuk bertakwa kepada-Nya menurut kadar kemampuan. Itulah yang mampu dilakukan oleh orang-orang yang tidak melewati miqat-miqat yang telah ditentukan”.
Jika hal ini diketahui, maka bagi orang-orang yang haji dan umrah lewat jalan udara dan laut serta yang lainnya tidak boleh mengakhirkan ihram sampai mereka tiba di Jeddah. Sebab Jeddah tidak termasuk miqat yang dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula orang-orang yang tidak membawa pakaian ihram, maka mereka juga tidak boleh mengakhirkan ihram sampai ke Jeddah. Bahkan yang wajib atas mereka adalah ihram dengan celana jika mereka tidak mempunyai kain. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ
“Barangsiapa yang tidak mendapatkan sandal maka hendaklah dia memakai khuf. Dan siapa yang tidak mendapatkan kain maka hendaklah dia memakai celana (panjang)” [Hadits Riwayat Ahmad, Muslim dan lainnya]
Dan orang yang sedang berihram dia wajib membuka kepala. Sebab ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang apa yang dipakai orang yang ihram beliau berkata :
لَا يَلْبَسْ الْقَمِيصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلاَ الْخِفَافَ إِلأَ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ النَّعْلَيْنِ
“Janganlah dia memakai qamis, surban, celana, tutup kepala dan khuf kecuali orang yang tidak mendapatkan sandal” [Muttafaqun ‘alaih]
Karena itu di kepala orang yang sedang ihram tidak boleh ada surban, peci atau penutup kepala yang lain. Jika dia mempunyai surban yang panjang yang memungkinkan dijadikan kain, maka hendaklah surbannya dijadikan kain, dan dia tidak boleh memakai celana dan harus menggantinya dengan kain jika dia mampu untuk hal itu. Tapi jika dia tidak mempunnyai celana dan juga tidak mempunyai surban yang dapat dijadikan kain ketika dia sampai tempat yang searah miqat ketika di kapal terbang atau kapal laut, maka dia ihram dengan qamis yang dimilikinya dan harus membuka kepala. Dan jika dia sampai di Jeddah dia membeli kain dan melepas qamis. Dan karena dia memakai qamis ketika sudah sampai tempat yang searah dengan miqat maka dia wajib membayar kifarat, yaitu memberi makan enam orang miskin, masing-masing satu setengah sha dari makanan pokok seperti kurma, beras, atau yang lain, atau berpuasa tiga hari, atau memotong kambing. Dan dia dapat memilih dari salah satu dari tiga kafarat tersebut dijelaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ka’b bin ‘Ajrah ketika minta izin kepada Nabi untuk mencukur rambut ketika dia ihram karena sakit yang menimpanya.
Kedua. Majelis merekomendasikan kepada Ketua Umum Rabithah ‘Alam Al-Islami untuk mengrim surat kepada perusahaan penerbangan dan kapal laut agar mengingatkan para penumpang sebelum dekat miqat bahwa mereka akan melewati miqat dalam tempat yang memungkinkan mempersiapkan ihram.
Ketiga. Anggota Majelis Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islami berbeda dengan Syaikh Musthofa Ahmad Al-Zarqa’ dalam hal tersebut. Sebagaimana Syaikh Abu Bakar Mahmud Jumi berbeda dengan anggota majelis dalam masalah orang-orang yang datang dari Sawakin ke Jeddah saja. Dan atas dasar ini, maka dilakukan penandatanganan oleh majelis.
Allah adalah yang memberikan taufiq kepada kebenaran. Dan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga kepada keluarga dan sahabatnya.
[Disalin dari Buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustakan Imam Asy-Syafi’i hal 80 – 83. Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1236-hukum-ihram-dari-jeddah.html